Penyadapan dalam Kacamata Hukum

(Foto : Ilustrasi Penyadapan yang dilakukan ke handphone)

Sejak awal bulan Februari, banyak pemberitaan yang bergulir mengenai impeachment atau pemakzulan kepemimpinan Partai Demokrat yang sedang ditampuh oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Hal ini diinisiasi oleh Gerakan Pengambilalihan Kepemimpinan Partai Demokrat (GPK-PD) yang tidak merasa puas atas kepemimpinan AHY dalam mengurus partai dan menentukan kebijakan serta masih terbayang-bayangi oleh sosok ayahnya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang saat ini menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Hal lain yang melatarbelakangi adanya gerakan tersebut karena keberadaan Majelis Tinggi Partai dirasa akan mengganggu kebijakan internal partai dan mengangkangi kewenangan yang dimiliki oleh DPC dan DPD sebagai pemilik hak suara sah dalam kongres. 

Bayangan Pidana

Pemberitaan lain yang menarik ditengah tarik ulur permasalahan internal Partai Demokrat ini adalah perkataan Ahmad Yahya sebagai Mantan Ketua Komisi Pengawasan Partai Demokrat yang mengatakan bahwa AHY sudah melakukan penyadapan terhadap semua handphone milik seluruh ketua DPC Partai Demokrat sehingga dapat terpantau pembicaraannya apabila bisik-bisik terkait Kongres Luar Biasa (KLB). Perkataan ini menjadi menarik karena seperti yang kita ketahui bahwa pemilik kewenangan penyadapan hanya dipegang oleh para penegak hukum yang memiliki kepentingan dalam menyelesaikan kasus. Ini sesuai dengan Pasal 31 ayat 3 Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) :

"Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang."

Berdasarkan adanya indikasi penyadapan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya tindak pidana yang dilakukan oleh AHY sehingga berpotensi dapat terjerat pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,-. Kesimpulan ini ditarik berdasarkan terpenuhinya unsur yang disebutkan dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2). Hal ini juga dikuatkan berdasarkan Pasal 40 Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi) yang menyebutkan :

"Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui telekomunikasi dalam bentuk apapun."

Hal ini tidak dapat dilepaskan mengingat AHY merupakan pengurus partai politik, bukan penegak hukum yang memiliki kewenangan dan izin khusus untuk melakukan penyadapan. Bahkan, apabila seorang penegak hukum melakukan penyadapan dalam rangka menyelesaikan kasus tetapi tanpa izin dari unit kerja terkait yang memiliki kewenangan memberikan izin penyadapan, penegak hukum tersebut dapat diberikan sanksi administratif dari lembaga terkait atau bisa dikenakan pidana. Dan juga bukti yang didapatkan dengan melakukan penyadapan tanpa izin tidak dapat diakui legalitasnya sebagai bukti yang sah di pengadilan. Hal ini menjadi penting mengingat berbahayanya penyadapan yang dilakukan, karena penyadap akan memperoleh informasi pribadi yang disadap tanpa tau apa saja yang diambil.

Seperti yang dirilis oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam artikelnya yang berjudul Tindakan Penyadapan dalam rangka Penegakkan Hukum harus diatur dalam UU / Hukum Acara Pidana yang menyebutkan 3 syarat sah penyadapan, yaitu :

1. Harus mempunyai kewenangan melakukan penyadapan dalam rangka penegakkan hukum

2. Harus berdasarkan permintaan dalam rangka penegakkan hukum

3. Harus sesuai dengan ketetapan yang diatur dalam UU.

Sehingga ini menjadi perhatian tersendiri, apakah tindakan penyadapan tersebut merupakan kewenangannya, dalam rangka penegakkan hukum, berdasarkan permintaan, dan sesuai UU atau tidak. Dilain hal penyadapan menjadi sangat berbahaya karena dapat menjadi alat dalam menekan korban penyadapan demi keuntungan pribadi penyadap.

Pentingnya Perlindungan Siber dan Data Pribadi

Sejalan dengan hal tersebut, Direktur Proteksi Ekonomi Digital Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Anton Setiawan menyebutkan Rancangan Undang-undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KSS) menjadi penting mengingat RUU tersebut memuat aturan mengenai perlindungan informasi pribadi dari penyadapan yang akan dilakukan oleh pihak tidak bertanggung jawab. Dan juga Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang menjamin tidak terjadinya penyalahgunaan data pribadi seseorang, sehingga seperti halnya yang dilakukan oleh penegak hukum dalam melakukan penyadapan dapat dijaga ketat sebagaimana mestinya.

Terlepas dari sangkaan dilemparkan Ahmad Yahya kepada AHY benar atau salah, hal ini menyadarkan kita pentingnya suatu regulasi yang mengatur dan menjamin terlindunginya pribadi seseorang secara elektronik sehingga kebebasan haknya tidak dilanggar orang lain. Terlebih lagi di era serba digital yang didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, pemerintah perlu membenahi dan memperbarui teknologi seiring perkembangan zaman yang begitu pesat. Peningkatan anggaran dalam rangka riset menjadi perlu untuk memenuhi kebutuhan zaman yang mendesak sebagai upaya perlindungan hak asasi manusia. Dengan begitu, Indonesia bersaing dan menyamai kemajuan teknologi seperti di negara-negara maju pada umumnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekan 1 - Kriminalistik

MEDIASI DAN SURAT KUASA